Cerpen: Menulislah, Nak
![]() |
Menulislah, nak |
"Perempuan raganya bisa dirumah saja, namun karyanya harus melanglang buana.
Ingat nak, tugas menyampaikan kebenaran ada pada setiap pundak kita sebagai manusia bermoral dan berakal."
Kemerlap bintang semakin terang, kokok ayam sudah mulai terdengar, dan lampu lampu rumah mulai hidup satu persatu. Waktu menunjukkan pukul 02.30 WIB. Namanku Nusaibah, gadis kecil berkulit sawo matang dan berambut ikal yang sedang nyenyak dengan mimpinya. Namun, abah mengganggu tidurku. Dengan sabar abah membangunkanku, menyuruhku ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudu.
“Abah, ini jam berapa? Sepertinya belum adzan subuh?” tanyaku parau sambil memaksa mataku untuk terbuka.
“Sudah jam setengah tiga, ayok sholat tahajjud. Biasakan bangun malam nak,” ajak Abah sambil menarik kedua tanganku supaya aku terduduk.
Begitulah Abahku, beliau tidak lelah walaupun anaknya ini sangat sulit dibangunkan. Setiap jam setengah tiga dini hari abah selalu rutin membangunkanku. Lambat laun aku terbiasa meskipun virus malas selalu menyerang. Selesai sholat abah mempunyai kebiasaan menengadahkan tangan yang orang sebut itu berdoa dan membuatku penasaran. Sepanjang pengamatanku abah hanya menggerakkan bibirnya saja.
Setelah Abah selesai berdoa, aku bertanya pada beliau, “Abah doa apa sih? Kok saya gak denger dan abah lama berdoanya”
Abahku tersenyum, mengangkatku di pangkuannya sembari berkata, “Sasa punya keinginan tidak? Atau pekerjaan yang ingin Sasa lakukan di waktu yang akan datang?”
“Punya dong Bah,” jawabku antusias
“Memangnya apa keinginan Sasa?” tanya abah penasaran
“Banyak sekali Bah, Sasa pengen makan bakso yang besarnya satu mangkok, pengen beli baju yang banyak di Ramayana, pengen punya kereta api sendiri, pengen punya mainan masak masakan satu kardus besar,” jawabku sambil menengadah ke langit langit membayangkan semua keinginanku.
Maklumlah, pada tahun 2009 kereta api ekonomi sangat membludak penumpangnya kala musim mudik tiba, sudah beberapa kali aku dan keluarga ketinggalan kereta saat pulang kampung ke rumah Ummi yang berjarak kurang lebih 8 jam perjalanan kereta. Waktu itu kereta masih belum diatur tempat duduknya dan pedagang asongan bebas masuk. Jadi prinsip yang dipakai siapa cepat dia yang dapat masuk lebih dulu.
Mendengar jawabanku yang penuh gelora itu, abah menurunkanku dari pangkuannya dan berjalan menuju lemari buku. Beliau mengambil satu buku dan pensil lalu di berikan padaku sambil berpesan, “Coba kamu tulis semua keinginanmu, ceritakan keseharianmu, dan harapan harapanmu disini.”
Belum sempat kutanya mengapa harus menulis, adzan subuh lebih dulu berkumandang dan abah mengajakku pergi ke masjid untuk berjamaah disana. Aku yang bermukenah biru pada pagi itu berjalan mengikuti langkah abah dengan menyimpan ribuan tanda tanya.
Hari terus berjalan, rutinitas menulis keinginan dan kegiatan sehari hariku pun terus berlanjut. Aku tak sempat menanyakan pada abah perihal keganjalanku. Ada saja halangan saat aku ingin mengutarakannya. Entah di depan abah aku tiba tiba lupa, atau terlalu banyak hal yang aku tanyakan pada abah. Sedangkan abah waktunya terbatas. Abah harus bekerja dan sore harinya beliau mengajar ngaji.
Kamis itu, senja mulai menampakan diri dan menyapa warga bumi dengan hangatnya. Kamis adalah waktu longgar keluarga, karena libur mengajar dan abah juga tidak bekerja hari itu. Teh hangat, Kopi, sepiring pisang goreng dan setoples makroni terhidang di hadapan aku, Abah dan Ummi yang sedang menggendong adekku yang berusia empat bulan. Seperti biasa, saat bersantai di ruang tamu abah selalu bertanya bagaimana hari hariku. Kegiatan sekolahku, bermainku, belajarku dan hafalanku.
“Oh iya, Sasa mau tidak abah ajari pidato atau membaca puisi? Dua bulan lagi akan banyak lomba akhir tahun yang di adakan TPQ se kabupaten”
“Iya bah, Sasa mau,” jawabku dengan mata berbinar binar.
Setelah percakapan sore itu, setiap sepulang sekolah agenda rutin bermain bersama teman teman harus ku ganti dengan berlatih pidato di depan cermin kamar atau di depan Abah dan Ummi. Sebelumnya, aku tak pernah mengikuti lomba lomba seperti ini. Ini pengalaman pertama untukku dan aku bersemangat sekali mengikuti ini.
Dua bulan sudah kulalui hari hariku dengan berlatih, berlatih, dan berlatih. Tak terasa, waktu lombaku tinggal menunggu matahari terbit. Malam itu, aku bermain ke rumah eyang yang jaraknya hanya tiga rumah dari rumahku. Aku bercerita bahwa besok aku mengikuti lomba dan eyang aku suruh mendengarkan radio dan tidak boleh jauh jauh dari radio karena acara itu akan di siarkan di radio. Tak lupa aku juga minta hadiah jika aku menang nantinya.
Terasa singkat sekali waktu tidurku tadi malam. Pagi ini aku sudah bersiap siap mengikuti lomba dengan berbaju putih, senada dengan warna kerudung, menggunakan rok hitam, dan bersepatu hitam bergambar bunga yang dibelikan oleh eyang beberapa bulan lalu. Perjalanan ke lokasi lomba yang memakan jarak satu jam membuatku harus berangkat lebih pagi. Hari ini aku ditemani Ummi dan adik kecilku. Aku sedih karena abah tidak bisa ikut mengantar sebab ada pekerjaan mendadak.
Sesampainya di lokasi lomba, aku sedikit syok melihat begitu banyak anak se usiaku yang juga di temani orang tuanya. Mereka semua berpakaian rapi. Yang perempuan menggunakan jubah hitam, putih, batik, dan ada juga yang mirip denganku. Yang laki laki menggunakan gamis coklat, hitam, putih, dan dilengkapi dengan kopyah dan sorbannya. Dan aku yakin semua tujuannya sama denganku, mengikuti lomba ini.
Empat puluh lima, nomor peserta yang kudapat di lomba hari ini. Aku bingung, aku sangat ketakutan. Melihat satu persatu peserta maju membuat nyaliku ciut. Ummi menawariku jajan dan es, tapi aku tak punya selera untuk memakannya.
Melihatku yang terus menerus diam ummi mulai mengajakku bicara dan berkata, “Mbak Sasa kenapa? Grogi ya? Jangan takut, mbak Sasa kan sudah sering latihan dan teks pidatonya sudah hafal.” hibur Ummi.
“Saya Deg-deg-an ummi,” jawabku sambil meraba dadaku dengan mata yang mulai berkaca kaca.
“Gak apa apa, Mbak Sasa pasti bisa. Ini es nya di minum dulu.” Ummi tidak henti hentinya menyemangatiku.
Ku terima es dari ummi dan ku tandaskan saat itu juga. Lambat laun hilang rasa grogiku. Aku mulai lupa dengan semua ketakutanku dan bermain main dengan adikku yang masih belajar duduk sembari menunggu namaku dipanggil.
Sudah tiga jam sejak acara dimulai, namaku belum juga di panggil. Matahari hampir mencapai atas kepala. Aku mulai gerah dan langsung kucopot saja jilbab instanku. Nanti kupakai lagi jika sudah dekat waktu tampilku. Aku sudah mulai lapar, untung saja ummi memang sudah membawa bekal yang ditaruh di tas biruku. Saat sedang asik makan, terdengar suara pemandu acara yang memanggil peserta dengan nomor urut empat puluh tiga.
Mendengar nomor urut empat puluh tiga dipanggil membuatku bergegas menyelesaikan makanku lalu minum dan kembali memakai jilbabku. Aku mulai siap siap sambil sesekali melihat teks pidatoku. Khawatir ada kalimat yang terlupa nanti.
“Selanjutnya, kami panggil peserta dengan nomor dada empat puluh lima. Adinda yang bernama Nusaibah di persilahkan,” dengan suara yang menggema menjadi satu aula.
Aku bergegas berdiri, mencium tangan ummi dan berjalan menuju panggung. Sesampainya di panggung, kulihat banyak pasang mata memandangku. Semua orang tertuju padaku. Menunggu menyampaikan pidato yang sudah kuhafal dua bulan ini. Melihat itu semua tubuhku bergetar hebat, bibirku kelu, jilbab dan bagian belakang bajuku basah karena keringatku yang bercucuran. Aku mencari sosok itu, kulihat dari seluruh orang di depanku tak ada sosok yang kucari. Kuberanikan diri mengarahkan mikrofon supaya sejajar dengan wajahku. Namun sialnya, tenggorokanku tercekat dan tak ada satu katapun yang keluar dari bibirku. Aku bingung harus bagaimana. Lalu kulihat ummi di pintu aula dengan adik dalam gendongannya. Itu ummi, sosok yang aku cari sejak tadi. Tanpa berfikir lagi aku lari turun dari panggung menuju ummi lalu memeluknya sambil menangis tersedu sedu.
Melihatku menangis di pelukannya, ummi hanya mengelus kepalaku. Karena tangisanku yang terlalu keras, adikku pun ikut menangis melihatku terisak isak sambil menenggelamkan kepala di perut kanan ummi. Ku luapkan semua emosiku, ketakutanku, serta rasa maluku.
“Loh, kenapa nangis? Ummi belum lihat mbak Sasa berpidato loh,” tanya ummi dengan tangan mengusap pundakku.
“Ummi tadi kemana, aku cari cari ummi gak ada,” tanyaku sambil mengusap air mata menggunakan lenganku.
“ummi tadi masih beli air putih, ummi haus.”
“Aku gak bisa pidato di depan,” sesalku dan kembali menangis keras.
“ya gak apa apa, ayok keluar beli beli. Didepan ada orang jual ikan mas. Supaya koleksi ikan di aquarium tambah banyak,” ajak ummi sambil menghapus air mataku dengan tisu.
Selama di perjalanan, aku hanya diam dan terus menunduk. Di depan pedagang ikan pun aku enggan memilih ikan yang kusuka, padahal ummi sudah mengajakku bicara dan menyuruhku membeli yang ku mau. Aku sangat malu pada ummi dan terus menerus berfikir bagaimana nanti jika abah bertanya tentang lomba ini?
Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas masuk kedalam kamar, ku kunci kamar ku dan aku kembali menangis sambil menutupi wajahku dengan bantal. Aku takut dan malu yang mau keluar dan bertemu abah.
Tak berselang lama, kudengar langkah eyang masuk ke rumah seraya memanggil namaku. Kuabaikan saja dan aku tetap menangis. Diluar kamar, sepertinya ummi sedang menemui eyang, entah apa yang di katakan ummi tapi setelah itu yang kudengar hanya suara eyang bermain dengan adikku.
Aku terlelap dalam tangisku, tak terasa sudah jam setengah lima sore dan aku belum berganti baju. Dengan langkah hati hati ku buka kamar dan mengendap endap menuju kamar mandi. Aku sudah gerah dan ingin sekali mandi. Aku yakin aku tak bertemu abah. Karena jam segini jadwal abah mengajar.
Segar sekali rasanya bisa menikmati dinginnya air dan berganti baju santai. Tapi tunggu, perutku lapar lagi. Bergegas aku ke dapur dan makan dengan lahap. Saat Asyik makan, abah datang dan duduk di hadapanku. Melihat abah, aku langsung menundukkan kepala.
“Lanjutkan sudah makannya, abah cuma ingin duduk disini,” Ucap abah sambil mencomot tempe di meja.
Aku pun melanjutkan makanku dengan tetap menundukkan kepala. Sehabis makan abah mengajakku duduk di ruang tamu. Aku tak tau harus bagaimana, ku iya-kan saja abah dan membuntutinya ke ruang tamu.
Setelah duduk di ruang tamu aba berkata, “Nak, tidak apa apa kamu gak bisa berpidato di depan umum seperti tadi pagi.”
“Tapi aku sudah mengecewakan Abah dan Ummi,” jawabku lesu.
“Tidak apa apa. Abah cuma ingin tau Sasa ini bisa tidak mengutarakan kebenaran lewat penyampaian langsung. Menyampaikan segala hal kebenaran bukan hanya dengan berpidato saja, banyak hal lain. Bisa menggambar, menulis, orasi, bernyanyi, dan lain lain. Oleh sebab itu abah menyuruh Sasa menulis, supaya hal hal yang ingin Sasa kasih tau pada orang banyak bisa di sampaikan lewat tulisan tulisan Sasa. Dan satu lagi, perempuan raganya bisa dirumah saja namun karyanya harus melanglang buana. Ingat nak, tugas menyampaikan kebenaran ada pada setiap pundak kita sebagai manusia bermoral dan berakal,” jelas abah dengan senyum wibawanya.
Tak dapat kutahan air mata ini, aku mengangguk dan menangis berhambur ke pelukan abah.
Terimakasih abah.